Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Manggarai Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manggarai Barat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 April 2019

Cunca Wulang: Keindahan yang Tidak (Lagi) Murah


Aliran sungai yang bening mengalir diantara celah-celah tebing tertangkap jelas dari jembatan gantung ini. Berdiri di jembatan gantung selalu memberikan sensasi menyenangkan bagiku. Walaupun tidak setinggi suspension bridge di Taman Nasional Gunung Pangrango, terlalu jauh kalau harus membandingkannya dengan jembatan gantung di air terjun Cunca Wulang ini. Walaupun begitu ayunan jembatan ini tetap memberikan sensasi jantung berdesir. Jembatan ini salah satu membedakan Cunca Wulang dahulu dibandingkan dengan saat ini. Baca ceritaku di Cunca Wulang dulu disini.

"In every walk with nature one receives far more than he seeks" --- John Muir

Cunca Wulang artinya Air terjun bulan. Mengapa disebut begitu? karena air terjun ini jatuh ke dalam sebuah tebing batu berbentuk lubang seperti lubang. Karena kondisinya seperti, sulit melihat penampakan air terjun untuk dari atas sampai ke bawah. Untuk bisa melihat utuh ada dua cara:
  1. Naik ke atas air terjun dan berdiri cukup dekat ke dinding tebing. Jangan kuatir, dinding air terjun ada batu padat yang tidak akan longsor oleh injakan kalian.
  2. Ini cara yang paling nikmat tapi basah. Jadi turun ke dalam sungainya dan berenang menyusuri sungai sampai masuk ke dalam dinding batu berlubangnya.
Namun, walau tidak bisa melihat air terjun secara utuh namun pemandangan aliran sungainya tetap indah karena melewati tebing-tebing batu yang pepohonan yang rindang.

Perjalanan ke Lokasi
Awalnya aku ingin ke Pulau Padar, cuma karena waktunya tidak nyambung dengan jadwal keberangkatan pesawatku. Pembatalan Padar ini akhirnya aku membuatku memilih lokasi lain yang bisa diakses melalui jalur darat.

Dengan berbekal pinjaman motor dari seorang teman, perjalanan ke lokasi aku tempuh hampir satu setengah jam mungkin lebih karena aku berjalan agak santai. Maklum naik motor sendiri jadi gak perlu terburu-buru. Lumayan bisa sambil menikmati pemandangan kota Labuan Bajo dari ketinggian.

Walau sebenarnya masih cukup hapal arah ke lokasi aku memilih bertanya arah kembali ke penduduk setelah dekat di Warsawe untuk meyakinkanku. Memang sekarang banyak aplikasi peta seperti Google Map yang dengan mudah menjadi guide andal ke lokasi-lokasi yang sudah terkenal, tapi GPS (Gunakan Penduduk Setempat) masih menjadi jurus andalanku. Ada beberapa faktor yang membuatku nyaman dengan mampir bertanya ke penduduk: (1) Cara mudah berinteraksi dengan masyarakat setempat, (2) Memastikan bahwa aplikasi peta tidak menyesatkan terutama jalur-jalur yang belum dikenal, (3) Aku masih old style yang masih nyaman bercakap-cakap dengan masyarakat.

Pembenahan Infrastruktur 
Wisata di Kabupaten Manggarai Barat mulai banyak dibenahi, termasuk di lokasi air terjun Cunca Wulang. Beberapa fasilitas mulai diperbaiki, seperti dibangunnya jalan setapak dengan beton menembus hutan menuju ke lokasi air terjun. Jarak tempuh berkurang hampir setengah waktu di banding dulu. Aku masih ingat dulu seorang teman dari bepeka sempat terduduk lemas kecapean waktu jalan balik karena kondisi jalan yang cukup sulit melewati hutan yang naik turun tajam. Apalagi menuju air terjun harus turun dari bebatuan sungai yang cukup curam. Belum selesai seluruhnya, jalan beton sudah dibangun namun pagar pengaman masih sebagian belum terpasang.

Dan juga adanya dua buah jembatan yang dibangun, satu jembatan biasa dan satu jembatan gantung. Jembatan biasa dibangun diantara dua bukit untuk memendek jarak perjalanan, sedangkan jembatan gantung untuk membantu melewati sungai. Hanya kalau melihat kualitas bangunannya, aku agak ragu jembatan gantung ini bisa bertahan lama.

Tapi itu infrastruktur yang ada di lokasi lho ya, kalau perjalanan dari Labuan Bajo ke Cunca Wulang tetap saja masih banyak yang kurang bagus. Terutama dari pertigaan Warsawe menuju lokasi air terjun.

Ada harga dengan dibangunnya infrastruktur ini, sekarang biaya masuk ke dalam lokasi bisa dibilang mahal. Ada seorang bule yang sepertinya solo backpacker keberatan dengan tarif masuknya. Kenapa? Karena ke sana diharusnya menggunakan jasa pemandu. Mau kalian jalan sendiri, berdua atau selusin tetap harus menggunakan jasa pemandu. Selamat jalan para backpacker hemat, kalian tak akan bisa berhemat berwisata di Manggarai Barat jika pergi sendirian. Tiket masuk plus jasa guide sekitar 70-ribu, itu untuk wisatawan lokal. Untuk wisatawan asing sepertinya lebih dari 100-ribu.

Sepuluh kali kalian ke lokasi itu, sepuluh kali harus membayar biaya guide lokal. Padahal tanpa guide pun dengan kondisi sekarang kecil kemungkinan seorang wisatawan akan tersesat, kecuali sengaja berjalan keluar dari trek yang ada. Ada setiap tempat wisata wajib ada? Hal itu tergantung lokasi tentunya. Jika lokasi yang belum dikembangkan dan susah diakses tentu butuh pemandu. Bahkan tanpa diwajibkan pun wisatawan akan mencari pemandu. Atau tempat bersejarah yang membutuhkan kehati-hatian dalam pengelolaan, jelas kebutuhan guide diperlukan.

Aku tidak berpendapat sendiri, silahkan kalian browsing dan cari tahu berapa banyak yang mengeluh dengan biaya tiket masuk yang dianggap terlalu mahal. Beda sekali rasanya saat aku berwisata di Jawa yang tiketnya banyak yang ramah kantong.


Aku sendiri tidak keberatan adanya guide, karena aku suka jika ada teman berbincang apalagi kalau sedang jalan sendiri. Hanya jika keberadaan pemandu menjadi kewajiban bagi seluruh wisatawan jelas itu akan membunuh keinginan banyak backpacker yang ingin menjelajah di Manggarai Barat. Tiba-tiba tempat wisata di Manggarai Barat menjadi tidak ramah terhadap para backpacker. Haruskah semua tempat wisata harus ditebus dengan kocek yang tebal?
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 06 Januari 2019

Kolam Air Asin Liang Rangko

Hawa pengap sebentar membuat tubuhku bersimbah keringat, kecuali tiga lelaki yang berendam di dalam kolam yang airnya sebening kristal. Air bening berwarna hijau kebiruan ini airnya asin karena berasal dari air laut. Bergantian mereka menaiki stalagmit yang tingginya sekitar satu setengah meter di pinggir kolam. Lalu diiringi teriakan dan sorakan teman-temannya mereka meloncat ke dalam kolam. Salah satu meloncat terlalu tinggi, nyaris saja kepalanya menghantam stalaktit. Untung dia keburu memiringkan kepalanya. Adegan nyaris celaka ini tentu saja mengundang reaksi lebih heboh dari teman-temannya.

Untung saat ini lokasi masih sepi pengunjung sehingga mereka bisa bersantai berenang, seperti juga aku dan Pepe yang juga mudah mencari sudut foto. Bedanya aku mencari sudut foto mengabadikan saat mereka melakukan loncatan-loncatan tadi, sedangkan Pepe khas anak muda mileneal yang ngerekam wajahnya sambil cuap-cuap. Aku dapat membayangkan seperti apa suasananya jika saja ada pengunjung lebih dari 20 orang masuk ke dalam gua, pasti pengap sekali.

Dia menunjukkan lengannya yang penuh goresan, saat kutanya kenapa tidak berenang. Katanya itu goresan saat dia naik motor ke Liang Cara. Tidak mengherankan, aku melihat dari cara Pepe naik motor yang mirip pembalap liar: kenceng sambil seneng slip-slipin ban. Bule ini emang kayaknya langganan celaka.

Aku saja akhirnya menyerah, seperempat jam kemudian aku keluar dari gua dengan kaos yang basah kuyup. Meninggalkan Pepe yang katanya mau berenang di sana tapi dari tadi mondar-mandir gak jadi berenang. Tumben si Pepe tahan di dalam gua tanpa berenang, batinku. Eh tak lama kemudian dia nongol keluar.

Liang Rangko atau Gua Rangko orang biasa menyebutnya. Gua ini tidak terlalu luas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Gua Batu Cermin. Seperempat dari gua ini adalah kolam air asin itu. Untuk masuk ke dalam gua, ada sebuah tangga kayu untuk turun. Suasananya pagi sampai menjelang siang cenderung gelap. Tidak terlalu gelap, setelah kita masuk ke dalam gua tak lama kemudian juga mata kita bisa menyesuaikan. Yang sulit justru saat menggunakan kamera. Walaupun menggunakan ISO 3200 sekalipun, speed yang diperoleh untuk mendapatkan suasana gua tetap tidak lebih dari 1/25 detik. Kebayang kalau menggunakan kamera hape yang sensornya imut untuk memotret di gua ini. 

Pintu gua Liang Rangko menghadap ke arah Barat, jadi sebenarnya kalau mau mendapatkan view yang lebih nyaman sebaiknya datang setelah jam dua siang. Malahan kalau mau sore hari nanti pemandangan matahari menjelang terbenam bisa dinikmati di pinggir pantai. Di pinggir pantai? Jadi gua ini di pinggir pantai? Gak usah heboh begitu. Bukan cuma di pinggir pantai, pantai di Liang Rangko ini juga pemandangannya indah. Berpasir putih dengan air yang tenang dan tentu saja pemandangan matahari terbenam.

Perjalanan ke Liang Rangko
Berbekal motor hasil pinjam dari seorang teman, Minggu pagi aku berencana ke Gua Rangko setelah rencana mau nginep di pulau Padar gagal total. Pilihan Liang Rangko karena masih berada di satu daratan pulau Flores dan jarak tempuh yang 'katanya' tidak terlalu jauh. Petunjuknya sederhana saja, ikuti saja jalan baru yang menuju ke Tanjung Boleng. Tanjung Boleng itu adalah kecamatan yang letaknya di sisi Utara pulau Flores.

Awalnya aku gak tahu kalau untuk ke Liang Rangko harus menggunakan perahu. Waktu itu hanya diberitahu kalau jalan ke Liang Rangko sudah bagus. Dan memang, dari kota Labuan Bajo sampai ke desa Rangko bisa dibilang jalan mulus karena memang masih jalan baru. Satu-satunya jalan yang jelek adalah sepotong jalan sekitar 100 meteran di depan PLTMG. Ini bangunan pembangkit listrik PLN baru, katanya kapasitas listrik di tempat ini sekitar 20 MW, wah bakalan terang benderang tuh Labuan Bajo.

Sampai ke sebuah desa di wilayah Kecamatan Tanjung Boleng, ada sebuah papan petunjuk lokasi Liang Rangko di pinggir jalan mengarah ke sebuah gang kecil arah ke pantai. Aku pikir awalnya di pinggir pantai itulah ada gua Liang Rangko, eh ternyata salah. Rupanya papan petunjuk itu cuma tempat untuk sewa perahu sekaligus membayar tiket masuk. Selepas parkir di pinggir sebuah pohon beringin besar, aku diarahkan ke sebuah warung kelontong. Warung ini rupanya juga berfungsi sebagai tempat untuk membayar tiket masuk sekaligus sewa perahu.

Di dalam sudah ada seorang bule muda yang tadi aku menyebut namanya: Pepe. Pepe ini katanya berasal dari Spanyol, dia menyebutkan Barcelona kalau gak salah. Dia yang awalnya protes gak mau bayar apalagi waktu dia diminta bayar 50ribu sementara aku cuma 20ribu. Dia pikir mereka curang mau menipunya. Setelah ditunjukkan kalau memang tiket masuk antara wisatawan lokal dan mancanegara memang berbeda. Bule muda ini jadi satu-satunya temen sharing perahu yang sewanya 300ribu pulang-balik dibagi dua. Lumayan mahal karena jarak tempuhnya hanya 20 menit saja. Sebenarnya kalau berangkatnya ada 5-6 orang lumayan sih, jadi hanya kena biaya sewa antara 50-60ribuan.

Liang Rangko: Pantai dan Gua yang Ciamik
Ternyata perahu digunakan bukan untuk menyeberang ke pulau lain, melainkan menyisir pinggir pantai menuju ke arah tanjung. Kalau begitu kenapa harus pakai perahu?  Karena jalan menuju lokasi langsung belum ada. Jadi tanjung tempat Liang Rangko itu bisa dibilang masih kosong tanpa penghuni, dan akses jalan tentu saja.

Perjalanan menyusuri perairan dangkal membuat aku bisa mengamati kondisi sekitar tanjung yang lebih didominasi bukit-bukit karang tanpa pantai.  Perairan dangkal dengan pasir yang berwarna putih membuat air laut berwarna biru muda, cukup menyenangkan untuk dipakai berenang.

Pak Kahar, pemilik perahu yang aku tumpangi bareng Pepe menunjuk sebuah bangunan dermaga yang sedang dibangun. Dermaga itu sepertinya sudah hampir rampung itu menggunakan material kayu, cukup bagus untuk menjadi dermaga bagi wisatawan. Rupanya memang Liang Rangko sedang dibenahi supaya lebih menjual.

Perahu merapat ke pantai bukan ke dermaga karena belum selesai dibangun. Ternyata sudah ada beberapa petugas di sana. Aku baru paham, ternyata desa Rangko yang aku datangi bukan satu-satunya lokasi untuk membayar tiket masuk. Bagi wisatawan yang melakukan hoping island misalnya, mereka membayar langsung biaya tiket masuk di tempat ini.

Masuk akal mengapa Liang Rangko dikembangkan menjadi lokasi wisata. Karena selain keberadaan kolam di dalam gua, ternyata pantai di sekitar Liang Rangko juga indah. Mungkin di tanjung ini, itulah satu-satunya pantai yang memiliki pasir putih cukup luas. Pemandangannya cukup nyaman karena di halangi beberapa pulau karang kecil, membuat perairan di sana cukup tenang. Ditambah dengan posisinya yang menghadap barat, bagi yang bersabar bisa menikmati keindahan matahari terbenam di pantai ini.


Catatan:
  1. Jangan memaksakan masuk ke dalam gua jika sedang ramai. Daya tampung gua yang tidak terlalu luas sangat terbatas. Masuk lebih dari 20 orang saja akan terasa tidak nyaman. Tunggu saja di pantai yang pemandangannya juga tidak kalah indah. Kalau tidak berenang di kolam daya tahan seseorang di dalam gua tidak akan lebih dari setengah jam. Pengap dan panas coy.
  2. Biaya sewa perahu sekitar 300ribuan dengan daya muat sekitar 5-6 orang. Bagi pelancong sendiri seperti saya, alternatif untuk mendapatkan harga lebih terjangkau adalah jangan buru-buru, cari sampai ada rombongan lain sehingga bisa patungan biaya. Atau ikut nebeng bayar ke rombongan yang bisa diikuti. Cara ini efektif kalau sedang musim liburan, kalau bukan lagi musim liburan bisa-bisa kering nungguin perahu yang mau angkut rombongan hehehe.
  3. Alternatif lain, jangan berhenti di tempat yang ada papan petunjuk tapi lanjut terus sampai ke dermaga desa. Nah coba tanya-tanya untuk sewa perahu ke sana. Biasanya ada yang mau mengantar dengan perahu kecil. Jika beruntung kalian bisa mendapatkan sewa perahu sekitar 100ribuan.
  4. Di Liang Rangko ini informasi dari masyarakat diperbolehkan untuk menginap/memasang tenda. Namun perhatian semua perbekalan karena di sini jelas satu-satunya alat transportasi adalah perahu.
  5. Jika menginap di sana dan mau membuat api unggun gunakan kayu-kayu kering di sekitar jangan potong pohon. Kayu-kayu kering cukup banyak kok. Jangan merusak alam karena jumlah pohon di sana juga terbatas. Kalau mau lebih enak, prepare aja bawa kayu bakar dari desa terdekat.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 21 Mei 2013

Saat Gak Kemana-mana di Labuan Bajo

Senja hari di Labuan Bajo, view dari belakang hotel La Prima
Baru pulang dari Labuan Bajo Minggu kemarin, tapi bingung juga mau cerita apa. Gak mungkinlah aku cerita gimana aku ngajar di sana, materinya apa saja... emangnya ini blog pendidikan?
Sebenarnya waktu tugas seminggu di Labuan Bajo, lagi ngepas dengan perhelatan Sail Komodo 2013. Sebagai induk dari Komodo, Labuan Bajo tentu saja wajib berbenah dan membuat persiapan supaya yang datang ke sana tidak kecewa. Gak asyik dong kalau gema acaranya kenceng pas disana cuma disambut satu dua baliho selamat datang tapi yang lain gak ada persiapan. Tapi gak lah, yang pasti mulai banyak pembenahan di sana sini termasuk perbaikan infrastruktur dari pemerintah pusat. Kok pemerintah pusat ikutan sibuk? Iyalah, secara mereka yang menguasai pulau Komodo. Kan Komodo udah dimasukkan sebagai Taman Nasional, jadi dengan sendirinya kepemilikannya ada di Pusat.
View Hotel La Prima siang hari
Yang pasti hari-hari kemarin itu bule makin banyak, jadi hotel-hotel udah mulai banyak terisi padahal ini masih bulan Mei. Gak kebayang nanti kalau pas puncaknya perhelatan di bulan September ini... (siap-siap yang mau kesini bawa tenda)
Celakanya memang aku gak kemana-mana, seminggu cuma lebih banyak ngendon di hotel karena acara yang padat dari pagi sampai sore. Ada sih kadang pas jam lima udah bisa bernapas (sebelumnya kecekik), tapi emang Labuan Bajo lagi gak seneng aku dateng kali ya... Itu langit mendung melulu tiap sore, mataharinya bener-bener disembunyiin tuh di bawah ketiak awan.
Untungnya kali ini aku dapet hotel yang lumayan enak, posisinya pas di pinggir pantai dan disebelahnya ada lokasi wisata yang rencananya mau dijadiin lokasi puncak Sail Komodo. Orang bilang pantai Pede, pantai yang terletak di sebelah bukit Pramuka ini dulunya asli kotor banget. Pasirnya sih putih tapi airnya itu banyak sekali sampah sama lumpur, katanya sih terbawa arus dari buangan masyarakat Bajo yang tinggal di kampung tengah. Kampung tengah itu kampung yang berada di sekitar dermaga. Asli, beberapa tahun lalu itu kawasan dari dermaga pelabuhan sampai pantai Pede dipenuhi lumpur sama sampah, dari plastik, makanan sisa, kaleng.. mungkin juga duit recehan sama berlian juga ada (mata berbinar-binar).
Senja hari di pantai Pede, suasana pantai mulai bersih
Nah, sekarang ini udah mulai ada kemajuan. Di sebelah selatan dermaga udah ada proyek reklamasi pantai jadi sekarang gak lagi rumah-rumah langsung berdiri di tepi pantai.. makanya banyakan rumah-rumah disitu gak punya toilet pribadi tapi toilet umum langsung ke laut (mau sekalian kasih makan ikan kali). Pantai Pede untungnya juga kecipratan rejeki duit buat pembersihan pantai. Berita terbarunya sih, ada pengalihan puncak perayaan Sail Komodo yang semula di pantai reklamasi pindah ke pantai Pede ini. Pantesan aja ada acara bersih-bersih, pasti takut tuh presiden dateng liat sampah bisa langsung dipotong tuh dana pusat. Bolehlah kalau ke sini mampir di pantai Pede, sekalian bantu-bantu bersihin pantai biar tambah kinclong. Udah ada beberapa perahu kecil panjang seperti perahu buat perlombaan di sepanjang pantai Pede.
Untungnya dapet pinjeman motor, jadi kalau malem masih bisa cari makan.. biasalah wisata kuliner (alesan aslinya karena makanan di hotel mahal banget hehehe)
Menunggu ikan eh cumi selesai dibakar
Lokasi favorit tetep aja di depan pasar Labuan Bajo. Itu rumah makan tenda sekarang udah penuh berjejer dan banyakan menyediakan menu ikan. Nah, makanya disini bulenya juga rame, lumayan kan... harganya masih bersahabat di kantong. Gak bersahabat banget sih, udah mulai naik dibanding tahun kemarin, pasti ini gara-gara bule ngrecokin dateng kesini tuh makanya pada rame-rame naikin harga ikan (gethok palanya bule).. Kemarin itu untungnya kita keliatan kalau muka lokal jadi bisa dapet menu ikan Kerapu merah 50rebu dua ekor plus nasi dan lalapannya. Besoknya lagi kita muter cari cumi dan berakhir dapat cumi yang udah punya cucu (gedhe bener) dengan harga 50rebu tanpa nasi dan lalapannya. Lagi bulan mati, jadi emang cari cumi agak susah. Kalau lagi bulan terang tuh sebenarnya saatnya berburu kuliner cumi bakar pasti banyak. Acara makan cumi jadi seru, karena cuminya ngelawan waktu digigit (tusuk pake garpu biar nyahooo..) Lokasi ini cocok nih buat didatengin kalian yang mampir di Labuan Bajo, siapa tahu bisa kecanthol sama bule lumayan buat perbaikan keturunan... asal jangan yang sejenis ya :))


Suasana senja hari di belakang hotel La Prima.. gak lagi promo lho
Cerita hotel ini, namanya La Prima.. tempat ini sebelum jadi hotel sebenarnya adalah kebun kelapa dan tempat yang paling sering aku tongkrongin kalau ke sini. Letaknya persis ada di sebelah selatan bukit Puncak Pramuka, beberapa pohon kelapa yang ada di samping hotel itu banyak yang dari awal dibangun tidak pernah ditebang, jadi kelapa asli. Karena tertutup bukit di depan dan kanan hotel makanya kalau pagi tempat ini adem, setidaknya sampai jam delapan lah. Hotelnya mahal banget, kalau gak dibayarin ogah banget masuk hotel ini. Tapi yah sepadan sama fasilitasnya sih. Ada kolam renang, walau menurutku tetep enakan mandi di laut... kalau mau trekking, nah bisa tuh naik ke bukit Puncak Pramuka dari samping hotel. Hotel udah buatin jalan kecil menuju ke atas, cuma medannya menanjak banget. Katanya di atas enak buat ngliatin matahari terbenam dan view Labuan Bajo. Cuma sayangnya aku sendiri batal ke atas, karena senter yang biasa kubawa ternyata gak bisa hidup. Awalnya kukira udah rusak, sampai rumah ternyata karena batereinya abis.. (goblok banget, jitak kepala sendiri) Padahal denger-denger di atas itu ada meriam bekas perang.
Akhirnya beberapa hari ya cuma sempet motret di sekitar hotel, atau kalau kaki lagi gak mau diajak diem ya jalan-jalan di sepanjang pantai menelusuri pantai Pede sampai berakhir di pantai Hotel New Bajo Beach. Pantai-pantai ini kalau mau diseriusin sebenarnya asli bagus lho. Yah minimal bisa buat santai-santai kalau lagi gak punya duit nyewa perahu ke pulau.
Cuma segitu ceritanya, masih nunggu waktu lagi buat eksplore Labuan Bajo... masih banyak tempat, masih banyak cerita yang menunggu untuk aku ceritain (cari-cari yang mau bayarin ke Labuan Bajo lagi).
Tapi kalau kesana lagi berarti harus siapin tenda ya, siapa tahu gak ada lagi penginapan yang bisa nampung.. daripada harus tidur di pelabuhan kek gembel :D

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 24 Juli 2012

Labuan Bajo: Melangkahi Daratan

Kembali lagi ke Labuan Bajo paling tidak selama seminggu harus mendekam di hotel lagi. Waktu yang cukup singkat mengingat jadwal kegiatan yang padat sehingga sampai beberapa belum tahu mau merencanakan perjalanan kemana yang tidak mengganggu jadwal. Jangan bilang berenang atau melihat Komodo deh.
Sepertinya bakal menghabiskan waktu seminggu ini di hotel saja sampai kemudian teman-teman dari Manggarai menawarkan perjalanan ke air terjun Cunca Wulang, sebuah air terjun yang terletak tidak begitu jauh dari Labuan Bajo. Namun sebelum ke air terjun, aku dan Kadek sempat juga mengunjungi Gua Batu Cermin walaupun kedua tempat itu kita kunjungi pada waktu yang kurang tepat.

Gua Batu Cermin
gua batu cermin
Pintu masuk ke atas menuju Gua Batu cermin
Sekitar hari Sabtu acara selesai jam 4 sore, Vian menawarkan jalan ke Gua Batu Cermin yang letaknya masih di sekitaran Labuan Bajo. Sebenarnya sudah beberapa kali aku ingin ke gua itu hanya entah kenapa belum-belum juga. Kesempatan baik walau secara waktu kurang tepat. Sebelumnya aku sudah mendapat cerita bahwa waktu terbaik ke gua itu adalah siang hari tepat dimana sinar matahari dapat masuk dari lorong bagian atas dan dinding-dinding gua yang berkilauan memantul-mantulkan cahaya layaknya cermin. Tak apalah, setidaknya aku mengenal dahulu seperti apa gua itu nanti baru bisa kembali lagi di waktu yang tepat.
Dari Labuan Bajo, kendaraan pak Vian berjalan ke Utara sampai melewati rumah jabatan Bupati dan di pertigaan berbelok ke Timur masuk ke jalan lebih kecil. Tak sampai 15 menit kami menemui sampai di lokasi.
Setelah membayar tiket masuk dan biaya untuk tour guide kamu mulai masuk ke dalam area. Jalan setapak ini menerobos semak-semak bambu berduri. Seekor ular kecil sempat menghalangi langkah kami. Melihat ukuran kepala yang lebih besar dibanding tubuhnya, aku memperkirakan ular berwarna coklat kemerahan ini jenis berbisa.
gua batu cermin
Di bagian atas gua
Sebuah batu tinggi tampak menjulang keras ditutupi rimbunnya pepohonan. "Itu pintu keluar pak, kita masuk lewat sana," tunjuk Tony sang guide menunjuk ke arah jalan lebih ke dalam. Tony yang ditunjuk menjadi guide kami berpenampilan rambut gimbal ala Bob Marley, dia masih bersekolah di SMK jurusan pariwisata sementara ini dalam rangka magang.
Dari depan pintu masuk menuju gua tampak tampak tangga menuju ke atas mengitari sebuah batu yang katanya terus tumbuh tinggi sepanjang tahun. Penambahan tinggi batu itu diakibatkan tetesan air yang membawa material dari atas.
Beberapa wisman asing tampak berdiri di depan sebuah ceruk gelap pendek, aku tidak bisa memastikan darimana wisman ini berasal namun sebagian mereka boleh aku katakan tua.
Rupanya gua Batu Cermin bukanlah gua bawah tanah, namun lebih ke adanya ruangan dari batu-batu yang bersusun.
Untuk menuju ke tempat dimana lokasi batu cermin itu berada kita harus masuk ke dalam ceruk di depan para wisman itu. Rombonganku sempat tertahan karena Tony hanya membawa dua senter dan itupun yang satu mati. Untung aku sendiri selalu membawa senter kecil di rompiku. 
Guide dari rombongan wisman asing sempat mengomel kepada kami. Ternyata itu karena kurang suka dengan keisengan salah satu wisman tua yang nakal menaruh tempat sampah di depan ceruk gua yang kecil ini. Katanya mereka tidak berani karena ceruknya terlalu kecil lalu memilih berdiri di depan ceruk itu.
gua batu cermin
Fosil kura-kura di atap gua
gua batu cermin
Kelelawar berukuran kecil

Setelah menyingkirkan tempat sampah Tony mulai merunduk masuk ke dalam ke dalam ceruk gua. Dengan tinggi ceruk tak lebih dari satu sepermpat meter dan lebar yang pas badan memang bisa menciutkan nyali apalagi yang berbadan besar. Diujung ceruk pertama Tony menunjukkan baru seperti payudara wanita yang dikatakan sebagai simbol ibu. Setiap pengunjung diharuskan mengelus batu ini, karena konon yang tidak mau memegang batu ini tidak bisa kembali. Setelah beberapa meter masuk kami harus melewati lubang ke bawah lebih sempit dengan ketinggian satu meter dan stalagtit-stalagtit runcing. Kali ini aku harus merangkak. Tony mengarahkan senternya ke arah salah satu stalagtit yang patah dan ada bekas darah. Katanya seorang wisman asing baru-baru ini terluka kepalanya sampai berdarah  dan mematahkan stalagtit itu.
Setelah melewati cerukan kedua tadi kami sampai di ruangan yang agak lebar. Ruangan ini benar-benar gelap, tanpa senter bener-bener hanya pekat. Itu dibuktikan Tony waktu kita kembali dengan mematikan semua senter, betul-betul pekat karena tak ada celah cahaya bisa masuk disini.
Laba-laba di gua batu cermin
Laba-laba di dalam gua
Batu berbentuk wanita di gua batu cermin
Batu berbentuk wanita di atas dinding gua
Setelah itu aku kembali harus memasuki celah yang lebih pendek, perkiraanku tingginya tidak sampai satu meter dengan lebar yang lebih sempit daripada cerukan pertama. Dengan merangkak kami masuk ke celah itu, selain stalagtit ternyata ada juga stalagmit walau tidak runcing.
Tebing di gua batu cermin
Tebing batu tinggi gua batu cermin
Sekeluarnya dari celah kami sampai ke dalam ruangan lebar dengan ketinggian sekitar dua meter sehingga tangan kami bisa menjangkau beberapa bagian langit-langit gua. Menurut Tony, gua ini dulunya ada di kedalaman laut dan itu dibuktikan dengan beberapa fosil yang terperangkap dalam gua ini. Sebuah tonjolan seperti kura-kura yang menurut Tony memang fosil kura-kura tampak di atas atap gua. Beberapa fosil dari terumbu karang juga jelas terlihat di samping kanan gua dan masih utuh, benar-benar bahwa itu adalah fosil terumbu karang. Untuk ikan memang harus memperhatikan dengan jeli baru kita bisa mengenali bahwa itu adalah fosil.
Aku juga ditunjukkan seekor laba-laba hidup dengan sebuah belalai seperti bulu di depan muka laba-laba itu. Kalau menurut ilmu pengetahuan, binatang yang bisa hidup dan tinggal dalam kegelapan total seperti ini tidak akan memiliki mata karena memang tidak ada manfaatnya bagi pertahanan hidup. Entah, mungkin bagian belalai seperti bulu itu yang menjadi indera penglihatannya.
Kami terus berjalan ke dalam sampai di ujung gua. Dibagian ujung gua dibagian atas terbuka celah sehingga cahaya dari atas bisa menerangi bagian dalam gua. Karena cuma dari ataslah cahaya yang bisa masuk maka hanya pada saat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala. Saat itu keindahan gua ini bisa terlihat karena dinding-dingding gua yang berwarna putih dan berkilat-kilat seperti kristal akan memantulkan cahaya ke segala arah dalam gua. Menurut Tony, walau tampaknya putih Sungguh saat bukan waktu yang tepat.
Kami harus kembali karena memang gua ini buntu alias tempat masuk keluar dari arah yang sama.
Setelah kembali keluar dari gua, ternyata kami harus berjalan ke arah sebaliknya untuk keluar dari kawasan gua ini.


Air Terjun Cunca Wulang
Meloncat di air terjun cunca wulang
Seorang cewe bule (Ivanna katanya) meloncat dengan semangat
Hari Minggu jam delapan pagi rombongan kami mulai berangkat, terlambat satu jam dari jadwal yang disepakati awal karena menunggu Beny selesai ibadah minggunya. Perjalanan ke arah Timur menuju ke arah Manggarai. Satu jam awal kami masih berkendara di jalanan utama yang kondisinya masih baik walaupun sepanjang jalan dipenuhi kelokan dan tanjakan tajam, khas jalan di Flores. 
Jalan terus menanjang sampai ke daerah Kecamatan Sano Nggoang. Kendaraan kendaraan kami masuk ke pertigaan arah Warsawe. Saat itulah aku baru merasakan jalanan yang kecil rusak dan berkelok-kelok.
Setelah melewati sebuah kecamatan baru yang bahkan lebih kecil dibanding sebuah dusun, kendaraan harus melewati jalan yang baru dibuka masih berupa hamparan tanah merah. Untung kendaraan yang digunakan ketiganya cukup tangguh untuk medan disini.
Seorang penduduk bertindak menjadi guide kami karena ternyata kami harus melalui kawasan hutan negara.
Setelah perbekalan di atur cara mengangkatnya (kebetulan aku kebagian mengangkat minuman) kami mulai menerobos hutan menelusuri jalan kecil dengan akar-akar melintang menghadang jalan. Akar-akar ini sering kali bermanfaat menahan kakiku karena daerahnya yang cukup berbukit-bukit dan bertanah rawan membuat kaki terpeleset. Sebuah tongkat adalah pilihan bijak terutama untuk menahan langkah supaya tidak tergelincir. Menurut penduduk yang menjadi guide kami, jarak dari tempat berhenti menuju air terjun sekitar satu kilometer.
Genangan air terjun cunca wulang
Genangan air sungai dari air terjun
Cukup melelahkan dengan medan seperti ini, tapi suara air menunjukkan bahwa air cukup dekat memacu kembali semangat kami. Sayang ternyata itu hanyalah bunyi air sungai karena ternyata kami harus menyusuri sungai dulu untuk sampai di air terjun. Guide dengan lincah berjalan di antara batu-batu dan mengarahkan kami tempat menyeberang. Di beberapa titik terdapat genangan air yang tampak tenang dan dalam, itulah titik akhir dari air terjun Cunca Wulang.
Air terjunnya sendiri tidak bisa dilihat dari sisi bawah karena terhalang dari dinding-dinding batu terjal yang mengapit aliran airnya. Untuk bisa melihat air terjun maka kita harus naik kembali dari sisi kanan dimana terdapat batang-batang kayu saling diikat sebagai pegangan untuk naik ke atas, dan itu sangat membantu sekali karena tanahnya yang sangat terjal menjadi sulit untuk dinaiki. Setelah sampai di atas, kami baru bisa menyaksikan bentuk air terjun itu.
Ternyata air terjun Cunca Wulang bagian atasnya jatuh tepat di sebuah kawasan bukit batu berbentuk melingkar sehingga sulit untuk dilihat penuh. Aku dan Kadek hanya bisa memotret bagian atas saja. Menurut penduduk, cara melihat utuh air terjun ini adalah berenang dari sungai menuju ke cerukan air terjun itu tapi sayang kamera kami bukan kamera tahan air.
View air terjun cunca wulang
Dua bule mau berenang
Sekembalinya di bawah, terdapat rombongan tiga cewek bule datang disusul rombongan lain. 
Jika rombongan kami hanya berani loncak dari sisi bawah yang tidak terlalu tinggi maka cewek-cewek bule itu lebih berani. Setelah didahului oleh guide dari rombongan itu yang meloncat di ujung batu setinggi enam meter, dua cewe bule itu ikut menyusul. Adegan yang tentu saja tak terlewatkan kami.
Air dibawahnya yang berwarna hijau gelap langsung berdebum begitu tubuh-tubuh mereka mendarat di air. Menurut guide, kedalaman air sungainya sekitar tiga puluh meter entah benar atau kira-kira saja. Tapi memang melihat air yang permukaan bening namun didalamnya berwarna gelap bisa menjadi petunjuk bahwa di sini airnya dalam.
Sayang kami datang terlalu siang sehingga cahaya matahari kuat sekali. Walaupun suasana
di pinggir sungai yang terhalang pepohonan tetap terasa sejuk tapi tidak dengan hasil foto. Kontras yang tinggi sangat menyulitkanku mengambil foto-foto di air terjun ini.
Perjalanan yang cukup melelahkan ternyata membuat selera makan jadi meningkat tak pelak nasi bungkus yang kami bawa habis tandas dimakan dan terasa enak sekali. Apalagi makan di pinggir air terjun seperti ini.
air terjun cunca wulang
Air terjun dilihat dari atas, tidak terlihat sepenuhnya
Sayangnya saking asyiknya mengeksplore lokasi ini aku justru lupa untuk berenang, pas habis makan siang mau berenang semua sudah selesai berenang. Ada sebuah spot air terjun kecil yang sepertinya tergantung pada musim. Saat musim kering seperti ini memang hanya debit air kecil yang keluar
Perjalanan kembali menjadi perjalanan yang menantang, apalagi kalau bukan bayangan harus berjalan menanjak. Beberapa teman kembali dengan membawa beberapa tanaman pakis yang mereka diperoleh di pinggir hutan. Jika awalnya ke sini lebih bawah lokasi jalan yang menurun sekarang untuk kembali harus menapaki jalan menanjak. Cukup capek, untunglah masih ada minuman yang kami sisakan untuk kembali.
Sepertinya kami harus melakukan perjalanan kembali ke sini pada waktu yang tepat, semoga..


Selain lokasi-lokasi ini, masih terdapat beberapa lokasi lain di daratan Manggarai Barat yang layak dan harus dikunjungi seperti Danau Sano Nggoang yang sangat besar dengan kondisi airnya panas dan asam, kemudian ada juga air terjun Cunca Rami yang pernah digunakan untuk syuting salah satu iklan yang menunjukkan keindahan Indonesia Timur, serta kampung adat yang sangat menarik, Wae Rebo.

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 28 Mei 2012

Catatan Kecil: Sisi Lain Sunset di Labuan Bajo

Suasana senja dari lokasi trekking sunset di bukit belakang hotel
Hari-hari di Labuan Bajo ternyata disapa dengan mendung yang menggelayut tebal di langit padahal sekarang bulan Mei. Beberapa kali mendung tebal itu tak sanggup menahan diri dan menumpahkan hujan di tengah siang yang semestinya terik. Musim hujan kali ini memang bergeser agak jauh sehingga bulan Mei pun hujan masih sering turun.
Praktis dari satu minggu di Labuan Bajo lebih banyak diisi dengan mendekam dalam kamar atau  atau kalau sedang suntuk dengan kamar maka restoran menjadi tempat nongkrong yang strategis. Padahal penugasan kali ini ada juga ada tim lain yang juga datang sehingga jumlah kami ada tujuh orang, cukup banyak untuk membuat acara.
Suasana malam beranda hotel
Untung hotel kami menginap cukup nyaman untuk bersantai setelah seharian berkutat dengan laporan dan angka-angka yang kadang sulit untuk dihubungkan. Hotel Centro Bajo ini dibangun dibawah bukit sehingga bangunannya bertingkat di bagian depan namun tidak dibagian belakang. Lokasinya bukan di pinggir pantai atau memiliki view pantai seperti halnya hotel-hotel lain di daerah Labuan Bajo ini, namun suasana rindang terasa sekali dibantu dengan dengan ornamen etnik dan bangunan-bangunan bergaya etnis dengan bahan bambu dan kayu.
Namun tentu saja hujan dan mendung yang terus memenuhi langit membuat jenuh juga, karena mau jalanpun kami ragu karena hujan bisa datang sewaktu-waktu.
Sebenarnya ada view sunset yang bisa kami nikmati dibelakang hotel namun kami harus trekking naik ke atas bukit sekitar 250 meter seperti tertulis di papan kayu yang dipasang di sebelah kolam air. Bunga teratai yang tumbuh memenuhi kolam menjadi korban kameraku yang tak bisa kupakai untuk berburu sunset. 

Bunga teratai putih dan ungu memenuhi kolam
Waktu sudah di atas jam setengah enam saat aku lihat warna awan di langit mulai tampak membara, jajaran awan mulai tersibak rupanya mulai bosan jika terus menutupi matahari. Mencoba peruntungan aku mempersiapkan peralatan dan mulai trekking ke belakang hotel. Ternyata jalan awal menanjak curam dan itu menguras tenagaku, di setengah puncak jalan aku mulai terangah-engah. Hahahaha ternyata umur tidak bisa dibohongi. Sayang di daerah agak landai aku melihat matahari sudah terlanjur masuk ke dalam, rona awan telah kembali gelap. Akhirnya aku kembali ke hotel dan berharap besok bisa lebih awal, tentu jika mendung tidak memenuhi langit.
Suasana beranda hotel malam hari
Besoknya sepertinya lagi berpihak, walau seharian mendung datang tapi sore langit mulai kembali tersibak sehingga aku dan Angga kembali mencoba jalur trekking. Menurut penjaga hotel, jalur trekking sudah lama tidak dibersihkan. Dan itu ternyata benar, setelah sampai di tempat landai yang aku harus melewati jalan yang kanan kiri mulai dipenuhi oleh semak-semak. Untung jalur trekkingnya masih tampak, namun ternyata saat mendekat ke arah lokasi ada sebuah jalan tanah berbatu yang cukup lebar memotong jalur trekking sehingga kami jadi bingung apakah harus mengikuti jalan ini atau tidak. Namun karena melihat kondisi jalan yang masih baru artinya ini bukan jalur trekking semestinya dan kami memutuskan mencari jalur trekking yang lama di seberang jalan. 

Melihat sunset di Pulau Bidadari
Saat kami melihat jalur kecil kami memutuskan mengikutinya, jika beruntung kami sampai ke lokasi jika tidak yah apa boleh buat. Ternyata arah kami benar, setelah melewati beberapa pohon yang tumbang kami sampai dilokasi yang tepat untuk melihat matahari terbenam. Beberapa bangku dari kayu yang dibuat oleh pihak hotel sebenarnya pas di lokasi ini, sayang tempatnya dipenuhi semak-semak dan bengku-bangku itu nyaris tak tampak jika kita tidak mendekat.
Dari lokasi ini kami bisa melihat hotel La Prima, sebuah hotel berbintang empat yang baru dibangun persis di bawah bukit di depan bukit tempat kami melihat sunset. Labuan Bajo tetap begitu indah, hamparan pulau-pulau yang perahu-perahu yang mulai menambatkan diri di pelabuhan membuat panorama senja yang menarik. Yah setidaknya ini hiburanku karena tidak bisa kemana-mana selama seminggu ini.
Tentu waktu seminggu ini bukanlah perjalanan yang kurencanakan, aku masih berharap bisa mengunjungi danau kawah Sano Nggoang atau air terjun Cunca Wulang
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Desember 2011

Senja Bulan Desember di Labuan Bajo

Mendung kelam dan gerimis di atas langit Labuan Bajo
Dua kali aku mendapatkan penugasan ke Labuan Bajo jatuhnya kok pas selalu akhir tahun. Tahun 2010 kemarin, penugasan terakhir bulan Desember juga penugasan sekarang. Akibatnya rencana ke pulau Komodo masih menjadi sekedar angan, apalagi kalau bukan masalah arus laut yang lumayan kuat di selat Sape. Itu pertama, yang kedua ya masalah langit yang sering mendung yang imbasnya rencana jalan-jalan sering berubah jadwal semau-maunya.
View dari teras hotel Puncak Waringin
Karena masalah itu pula makanya untuk penugasan kedua ini aku memilih menginap di hotel Puncak Waringin. Hotel yang dimiliki oleh Pemda setempat namun pengelolaannya oleh pihak swasta. Sebuatan Puncak Waringin sendiri dulunya ada karena di daerah itu ada gundukan bukit yang agak tinggi dan berdiri satu pohon Beringin besar yang setiap sore ramai dikunjungi wisatawan untuk melihat senja. Sekarang ini pun pohon Beringin itu masih gagah berdiri tapi masih kalah tinggi dengan bangunan berbentuk persegi enam yang awalnya digunakan untuk resto. Entah karena desain bangunan yang kurang menarik atau pelayanannya, sekarang bangunan itu hanya digunakan sebagai aula saja.
Padahal view Labuan Bajo menarik sekali dari puncak ini. Dari Puncak ini akan tampak kawasan kota Labuan Bajo bagian bawah dan dermaga yang dipenuhi perahu-perahu berbentuk pinisi serta perahu-perahu kecil yang disewakan masyarakat untuk berangkat ke pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo. 
Senja masih bisa mengintip di antara mendung kelam
Pulau-pulau terhampar di sepanjang pantai Labuan Bajo, saling menutupi sehingga kawasan pantai Labuan Bajo ini berombak tenang. Paduan view ini sangat menawan, entah lokasi mana aku bisa menemukan view yang luar biasa seperti ini. Padahal kota ini belumlah bersolek sebagaimana sebuah kota pariwisata, geliatnya pun baru terasa belakangan ini termasuk upaya pemerintah untuk menghidupkan Labuan Bajo. Salah satunya menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya gerbang untuk masuk ke pulau Komodo, hal ini menjadikan perahu-perahu pinisi dari Bali maupun dari Lombok harus singgah ke Labuan Bajo dan tidak bisa langsung singgah ke pulau Komodo. Namun tidak bisa dipungkiri, geliat kota yang memiliki pulau Komodo ini sedemikian terasa, berdirinya beberapa hotel berbintang empat menunjukkan bahwa ke depan Labuan Bajo akan terus tumbuh menjadi kota industri pariwisata.
Hampir tiga hari yang setiap hari selalu ada hujan aku harus rela duduk manis di teras depan kamar menikmati langit Labuan Bajo yang kelam kala senja merangkak. Acara jalan-jalan juga harus di tunda karena langit tak pernah memberitahu kapan hujan akan datang.
View senja di pantai Bidadari yang berpasir putih
Masih untung pada hari pertama aku sempatkan untuk acara jalan. Karena tidak banyak acara selain setting untuk acara besoknya akhirnya aku berdua dengan teman merencanakan perjalanan ke pulau Bidadari untuk sekedar snorkling. Dengan menggunakan perahu milik pak Arman, kami berangkat sekitar pukul empat sore. Waktu perahu mulai menderu meninggalkan dermaga langit di atas tampak kelam, itu pula salah alasan pak David yang rencananya mau bersama kami membatalkan ikut.
Setengah jam perahu kami sampai ke pulau Bidadari, pulau yang setengahnya sudah dimiliki (sementara) oleh seorang bule. Kalau tidak salah namanya Mr. Ernest, seorang bule yang agak bawel kalau menyangkut kebersihan di wilayah pantai Bidadari. Jangan bakar ikan sembarangan apalagi buang sampah sembarangan kalau tidak ingin melihat dia murka. Tapi sayangnya masih ada orang-orang yang tidak menghargai kebersihan dan membuang sampah seenaknya.
Di atas perahu meninggalkan pulau Bidadari menjelang senja
Ternyata di pulau Bidadari arus laut sedang kuat sehingga pak Arman meminta kami snorkling di sisi Utara pulau yang agak menjorok ke dalam dan tidak terlalu dalam. Di beberapa titik apalagi yang sebelah Selatan dan Barat memang lautnya miring agak curam.
Walaupun matahari terhalang awan, kami masih bisa berdecak melihat gugusan terumbu karang dan ikan-ikan karang berwarna-warni berukuran besar. Cukup besar sampai aku dan teman ngiler ingin menangkap satu untuk dibakar hahahaha. Apalagi kalau ada sinar matahari, maka terumbu karang makin tampak cemerlang dan indah. Sayang sekali lagi aku hanya bisa menikmati dengan mata saja, kamera Canon D10 yang aku punya sudah rusak saat snorkling di Tenau dulu gara-gara kecerobohanku sendiri. Jam enam lewat baru perahu kami kembali ke Labuan Bajo. Pak Arman sengaja membelokkan perahu ke arah dalam menyusuri Labuan Bajo dari sisi utara melewati pantai Binongko. Di beberapa titik tampak cahaya-cahaya hidup dari balik rerimbunan perbukitan, itulah cafe-cafe yang berdiri di sepanjang bukit di daerah Binongko yang terjal. Perbukitan ini justru memiliki nilai jual karena dari bukit-bukit itu bisa menikmati pemandangan senja berlatar pulau-pulau yang juga tak kalah eksotisnya.
Setelah itu nyaris aku berdua dengan teman lebih sering membenamkan diri di hotel, sesekali turun menikmati dan memotret senja yang kelam dari aula Puncak Waringin.
Hari terakhir sebelum berangkat, bertiga aku, Kadek dan pak Joko pagi-pagi sekali menyempatkan jalan kaki ke pantai Binongko, rencananya mau mampir saja ke dermaga pendinginan ikan.
View dermaga pendinginan ikan pagi hari
Jam enam pagi kami berjalan kaki turun ke bawah sampai ke pertigaan lalu naik ke atas arah ke Binongko. Jika dulu yang aku kenal di kawasan Binongko adalah sebuah hotel resto bernama Golo Hill Top, maka sekarang ini sudah mulai banyak berdiri cafe-cafe dan hotel di sepanjang kawasan ini bahkan sebagian dibagian di kemiringan bukit yang terjal. Selain di jalur ini di bagian atas juga tampak jalur yang baru dibangun pemerintah, tentu jalur baru itu akan makin diminati investor karena bisa mendapatkan view senja yang lebih indah. Setelah melewati sebuah bangunan yang menjadi tempat rekreasi penyandang cacat, kami sampai ke dermaga pendinginan ikan.
Sedikit cerita tentang bangunan rekreasi untuk orang cacat yang dibangunan oleh SVD di Cancar ini, aku pernah mendatanginya sekali waktu saat mengantarkan bu Emil, seorang teman yang bekerja di Kemetrian PDT waktu kesasar di tempat ini. Mungkin aku lain kali bisa cerita tentang perjalananku dengan bu Emil tapi singkatnya saat ke mau ke dermaga ini pula bu Emil minta aku mampir ke sana. Bisa di tebak, sepanjang ngobrol-ngobrol dengan beberapa anak-anak yang kebetulan sedang tinggal di situ bu Emil harus menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Yah, namanya juga ibu-ibu, bawaannya mau mewek saja kalau ada gambar mengharukan seperti ini.
Menikmati pagi di ujung dermaga
Kembali ke perjalanan kami, ternyata begitu sampai di sana dermaga pendinginan ikan tinggal sebaris dermaga, dua cabang dermaga yang tahun kemarin masih ada sekarang sudah karam. Dermaga yang sekarang tersisa ini pun di beberapa tempat tampak sudah rusak, ada beberapa paku yang masih baru menunjuukan bahwa ada papan-papan yang baru saja diperbaiki. Di dermaga pagi itu nyaris tidak ada kegiatan satu pun karena memang dermaga ini sudah tidak digunakan untuk pendinginan ikan lagi, dan hanya digunakan untuk nelayan-nelayan mendaratkan perahu setelah menjala atau memancing. Mesin-mesin besar yang biasanya menderu untuk menciptakan es batu sudah lama tidak digunakan, namun pekerja di pabrik itu sebagian masih tinggal di sana untuk menjaga mesin-mesin itu.
Karena ada mereka pula, aku beruntung bisa mengisi perut yang kosong sedari pagi. Sebuah minuman serela panas menghangatkan perut kami pagi itu.
Masih tertinggal di otakku untuk ke sini lagi lain waktu. Masih banyak tempat yang harus aku kunjungi. Ada air terjun Cunca Wulang yang jaraknya satu jam perjalanan kendaraan dan satu jam jalan kaki, atau ke perkampungan adat Wae Rebo yang ada jauh di ujung selatan pulau. Masih ada pantai merah yang berpasir merah yang sebagian bule menyebutnya dengan nama Pink Beach, atau ke pulau-pulau seantero Manggarai Barat yang begitu mempesona dengan pasir putih dan terumbu karannya seperti pulau Saporo, pulau Kanawa, pulau Seraya Kecil, dan banyak yang lain. Dan tentu saja tak pernah hilang dari ingatanku adalah untuk mengunjungi langsung pulau para melata prasejarah yang masih hidup sampai sekaran, apalagi kalau bukan pulau Komodo.


Thanks buat teman-teman yang ikut dalam perjalanan ini:

  1. Arman Armansyah
  2. Joko Mulyono
  3. Kadek Maharta Kusuma
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 17 Desember 2011

Komodo: Jejak Prasejarah Hidup

Tiga komodo bermalas-malasan di bawah dapur
Semenjak namanya Pulau Komodo didaftarkan untuk ikut dalam pemilihan New 7 Wonders, pemerintah Indonesia mulai mendengungkan tentang binatang yang masih menyimpan sisi prasejarah dalam berbagai kesempatan. Salah satu yang bisa dilihat adalah munculnya Komodo sebagai ikon binatang dalam perayaan Sea Games XXVI di Palembang. Media pun tak luput ikut aktif dalam euforia mengkampanyekan Komodo walaupun keberadaan lembaga penyelenggara ini  menuai  kontroversi.
Terlepas dari semua itu, sebagai orang yang cukup lama tinggal di Nusa Tenggara Timur, rasanya kurang lengkap kalau tidak langsung melihat bentuk Komodo dan hanya puas memandangi patung Komodo di Bandara Eltari Kupang atau yang berdiri galak di tengah jalan.
Kesempatan itu datang saat sebuah penugasan yang mengharuskan penulis ke Manggarai Barat. Manggarai Barat ini kabupaten yang memiliki pulau Komodo. Sekitar bulan Desember tahun lalu, penulis dan dua orang rekan menjejakkan kaki di Labuan Bajo, ibu kota dari Kabupaten Manggarai Barat.
Dari Kupang, pesawat yang sedianya berangkat jam dua siang harus lagi-lagi mengalami penundaan sehingga keberangkatan menjadi molor hampir dua jam. Kondisi yang harus dimaklumi jika anda tinggal di wilayah timur Indonesia yang masih minim penerbangan. Walhasil, kami harus berangkat jam empat lewat. Namun keterlambatannya ini juga menjadi berkah tersendiri, karena penulis jadi bisa melihat senja berona jingga dengan gulungan awan-awan yang begitu mempesona di langit barat. Jam lima lewat pesawat mendarat di kabupaten yang berada di paling ujung pulau Flores.
Labuan Bajo berdasarkan foto Google Maps
Sebagai pintu gerbang menuju ke pulau para binatang prasejarah, Manggarai Barat sendiri menyimpan potensi besar bagi pengembangan sebagai daerah destinasi wisata baik yang berkelas lokal maupun kelas mancanegara. Dari daratan Flores saja, beberapa daerah menawarkan pesona alam seperti gua alam Batu Cermin, gua alam Batu Susun, Liang Dara dan Liang Rodak yang semuanya berlokasi di Kecamatan Komodo. Juga terdapat danau Sano Nggoang yang berlokasi di Kecamatan Sano Nggoang. Danau yang tercipta akibat letusan gunung berapi ini (danau vulkanik-red) memiliki kadar belerang yang tinggi. Di sini, juga terdapat sumber air panas yang menurut versi Kepala Bappeda suhunya mencapai lebih dari 60 derajat. Namun tetap, bagian yang menarik perhatian wisatawan mancanegara adalah pantai-pantai berpasir putih, terumbu karang, dan binatang melata komodo yang bernama latin Varanus Komodoensis Ouwen.
Di antara waktu penugasan akhirnya kami mendapatkan saat yang tepat untuk bisa melihat langsung Komodo di habitatnya. Namun terbentur oleh kondisi cuaca di bulan Desember yang nyaris setiap hari turun hujan, sehingga dikhawatirkan laut sering terjadi badai. Akhirnya seorang teman yang juga memiliki usaha penyewaan kapal menawarkan inisiatif mengunjungi pulau Rinca. Menurutnya, pulau Rinca lokasinya lebih mudah dikunjungi dengan jarak yang hanya setengah jarak dari Labuan Bajo ke pulau Komodo. Usulan ini akhirnya kami terima, bahkan teman kami menawarkan sebuah perahu yang dia miliki untuk kami gunakan.
Bertepatan dua hari sebelum keberangkatan, Kepala Kantor juga datang untuk menghadiri acara penandatanganan MOU antara Kepala Perwakilan BPKP Provinsi NTT dengan Bupati Manggarai Barat.
Di anjungan perahu 'Sibanaha'
Pada hari H, pagi-pagi sekali pak Arman yang merupakan pemilik kapal membangunkanku untuk bersiap-siap. Rupanya pagi-pagi sekali dia sudah mempersiapkan perbekalan untuk di kapal. Setelah semua perbekalan beres, kami kemudian menjemput Pak Bonardo yang kebetulan menginap di hotel Jayakarta. Sedikit informasi, walaupun hanya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi NTT namun Manggarai Barat memiliki hotel dan penginapan yang lebih banyak dibanding ibukota NTT sendiri, Kupang. Bahkan di Manggarai Barat ini, saat kunjungan kami telah ada dua hotel berbintang empat yang bahkan belum ada kelas hotel seperti itu di NTT. Hal ini menunjukkan bahwa Manggarai Barat memiliki potensi wisata luar biasa yang sudah mulai dilirik pengusaha.
Kami sedikit terkejut setelah sampai di pelabuhan tempat bersandar kapal, karena perahu yang akan kami pakai ternyata bukanlah perahu biasa. Melihat ukurannya, aku lebih suka menyebutnya sebagai kapal kecil dibanding sebuah perahu. Sebuah kapal pinisi dalam versi kecil dengan dua kamar tidur. Tulisan ‘Sibanaha’ tertulis mentereng di sisi kapal. Di samping geladak yang cukup luas juga terdapat dua buah tempat tidur santi untuk berjemur.
Air tenang bagai cermin raksasa
Jam delapan, kapal pinisi yang kami naiki mulai meluncur ke arah selatan dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Dengan perahu sebesar ini, ombak menjadi tidak terasa. Apalagi pada saat ini laut pagi sedang tenang sekali seperti biasanya sehingga kami nyaris bagai merasakan membelah udara kosong. Sedikit guncangan kami rasakan saat perahu melewati Loh Liang yang merupakan selat antara pulau Flores dan pulau Rinca.
Namun rupanya ada gangguan di salah satu mesin kapal yang membuat kapal hanya berjalan dengan satu mesin saja. Wal hasil, perjalanan dari Labuan Bajo ke pulau Rinca yang seharusnya cukup ditempuh dalam waktu dua jam saja harus ditempuh dalam waktu empat jam.
Jam dua belas, kami memasuki teluk ke dalam hingga bertemu sebuah dermaga kecil yang bertuliskan ‘Welcome to Komodo National Park Loh Buaya’. Disinilah dermaga pendaratan untuk perahu yang akan ke Rinca berakhir. Dari samping kapal kami melihat dua buah kano panjang berbahan fiber yang dinaiki masing-masing dua turis asing meluncur ke arah bakau. Dari informasi, memang selain untuk melihat Komodo, sering kawasan pulau Rinca ini digunakan wisatawan terutama wisatawan asing untuk melakukan kegiatan kano menyusuri pulau karena di beberapa titik di pulau Rinca memiliki view pantai dan kawasan terumbu karang yang indah.
Monyet menjadi mangsa bagi anak komodo yang masih kecil
Begitu menginjakkan kaki di lantai dermaga maka mata kami langsung disambut oleh kedatangan segerombolan monyet yang datang bergelantungan di pohon-pohon bakau. Mereka tampaknya telah familiar dengan wisatawan yang datang kemari walau pun tidak mau didekati.
Dari dermaga kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju ke pos pemantauan yang tidak berada jauh dari dermaga. Saat dalam perjalanan, kami sempat melihat kerbau dan beberapa burung endemik melintas. Menurut informasi, kerbau ini termasuk kerbau liar karena di kawasan ini tidak terdapat penduduk yang tinggal kecuali petugas pengelola cagar.
Pulau Rinca ini masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo sehingga walau terletak di kabupaten Manggarai Barat namun dalam pengelolaannya masih oleh pemerintah pusat.
Dermaga Loh Buaya pintu masuk ke pulau Rinca
Kami sampai di pos pemantauan, di sini berdiri beberapa bangunan termasuk tempat untuk bersantai. Terlihat ada dua ekor komodo yang berukuran agak kecil melintas dari sisi semak-semak di samping kami. Bahkan aku menemukan seorang anak komodo yang masih kecil bersembunyi di antara tumpukan bahan bangunan untuk memperbaiki pos pemantauan. Komodo kecil dengan kulit berwarna cerah dan motif hitam ini merangkak dengan cepat menjauhi saat aku mencoba mendekati untuk mengambil gambarnya. Dari petugas jaga, aku mendapatkan gambaran bahwa komodo-komodo yang masih kecil sampai berumur 3-4 tahun masih lincah bahkan masih dapat memanjat ke pepohonan. Berbeda sekali dengan yang sudah dewasa, di samping kulitnya yang tebal berubah menjadi satu warna saja, Komodo dewasa juga tidak lincah lagi seperti Komodo kecil. Bahkan Komodo dewasa terkesan sangat malas sekali.
Dari sini, kami dibantu olah seorang petugas jaga yang memegang tongkat bercabang masuk lebih ke dalam. Tongkat bercabang ini digunakan untuk menghalau Komodo yang mencoba mendekat.
Tengkorak sisa mangsa komodo yang dikumpulkan
Beberapa meter dari pos jaga kami ditunjukkan sebuah kayu-kayu panjang yang dipanjang berjajar dengan hiasan tengkorak-tengkorak binatang berbagai ukuran. Tengkorak-tengkorak ini ternyata dikumpulkan oleh petugas jaga dari binatang-binatang liar yang dimangsa oleh Komodo. Selain tulang kerbau yang masih lengkap dengan tanduknya juga terdapat tengkorak rusa liar, juga beberapa tengkorak kecil yang rupanya adalah tengkorak monyet.
Di bagian bawah rumah panggung yang menjadi tempat memasak ternyata sudah ada beberapa ekor komodo yang sedang diam bermalas-malasan di bawah kolong. Binatang yang mirip dengan kadal ini tabiatnya memang seperti binatang melata ulat atau buaya yang menghabiskan umurnya dengan bermalas-malasan. Jika sedang bermalas-malasan seperti ini, tak ubahnya kita seperti sedang melihat sebuah patung, nyaris tanpa gerakan sedikit pun. Hanya matanya yang kadang bergerak yang menandakan bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan patung. Hanya sekali-kali satu atau dua ekor komodo menggerakan badan.

Anak komodo mengintip di balik semak
Anak komodo di rerumputan
Komodo remaja di antara atap ilalang
Liur yang mengering pada komodo dewasa
Namun jangan mengira dibalik kemalasan sikapnya ini Komodo tidak berbahaya. Jika jarak memungkinkan, dalam sekejap Komodo dapat merubah posisinya dan berlari mengejar mangsanya dalam kecepatan mencapai 20 km per jam. Karena itu sejak awal petugas jaga mewanti-wanti agar kami menjaga jarak dari komodo setidaknya tiga meter. Aku sendiri sempat mendekat hingga jarak satu setengah meter untuk dapat memotret binatang pemalas ini.
Kebiasaan Komodo yaitu berpura-pura tidur dekat genangan air. Ketika ada rusa atau babi hutan yang minum di genangan air tersebut, saat itu lah komodo beraksi.  Dengan kecepatan lari dan ekornya inilah, Komodo akan memukul roboh mangsanya. Gigitan komodo juga memiliki daya bunuh luar biasa, karena dalam air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.
Dengan lehernya yang besar, memangsa seekor babi hutan cukup hanya dalam hitungan menit karena komodo dengan mudah menelannya saja. Perut seekor komodo yang berumur lebih dari 25 tahun, mampu menampung daging seberat 30 kg. Dengan kondisi demikian, komodo bisa bertahan tidak berburu lagi hingga 1 bulan lebih.
Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang. Komodo jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan kecil kuning pada tenggorokannya
Berat komodo betina dewasa yang berumur 25 tahun lebih yaitu sekitar 65 – 70Kg. Adapun komodo jantan dengan usia yang sama memiliki tubuh yang lebih berat yaitu 100 – 110 Kg dengan panjang bisa mencapai 3,8 m.  Usia komodo rata-rata bisa mencapai 50 – 60 tahun.
Komodo berkembang biak dengan bertelur dengan jumlah hingga 20-30 butir sekali bertelur. Sebelum bertelur, induk Komodo membuat gundukan tanah di bawah pohon. Lubang-lubang tersebut dibuat lebih banyak dari telurnya dengan tujuan untuk mengecoh komodo lain agar tidak mudah menemukan telur. Komodo adalah binatang yang bersifat kanibal, yaitu bisa memangsa jenisnya sendiri terutama jika ukurannya lebih kecil. Bahkan dari sekian banyak telur tersebut akhirnya sebagian besar dimakan oleh induknya sendiri dan hanya tersisa rata-rata 5 – 7 butir telur hingga nanti menetas.
Menurut informasi, Komodo ini jumlahnya mengalami penurunan terus menerus, hal ini diakibatnya terjadi persaingan perebutan makanan dengan manusia yang sering melakukan pencurian kayu atau perburuan liar di kawasan Taman Nasional.
Dua jam kemudian kami memutuskan kembali. Karena kapal kami mengalami masalah, kami berpindah ke sebuah perahu biasa yang juga dimiliki oleh teman kami ini. Dalam perjalanan kembali ke Labuan Bajo, perahu kami sempat singgah ke pulau Kambing yang memiliki hamparan pasir putih. Di sana, kami menyempatkan berenang dan bermain snorkling.
Perjalanan hari ini bukanlah berarti kami telah menuntaskan keinginan, masih terbersih harapan suatu ketika bisa benar-benar menginjakkan kaki di tanah langsung para melata prasejarah ini di Pulau Komodo, apalagi informasi tentang beberapa spot pantai dan terumbu karangnya yang juga sangat menawan makin menguatkan kami untuk sampai ke pulau di ujung Provinsi NTT ini.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya